Jutaan layar televisi pada Jumat 27 Januari 2017 dapat dipastikan mempertontonkan debat para calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Jutaan konten media sosial pun menguliti mereka. Satu hal yang layak digarisbawahi, tidak ada dari mereka yang tanpa cacat. Dari sisi calon gubernur, Agus Yudhoyono dinilai masih mengambang, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sempat reaktif, dan Anies Baswedan terkesan ingin mempermalukan lawan di depan umum.
Tapi dari semua cacat yang dipertontonkan, cacat Anies terbilang paling fatal. Kenapa, karena dia terkesan terlalu banyak polesan yang terlalu dibuat-buat sehingga penonton terasa dibawa ke dalam ruang teater hanya untuk menyaksikan pertunjukan yang tidak jelas; deklamasi puisi atau drama? Ya, saat ingin melihatnya sebagai deklamasi puisi, tapi dia juga terlalu banyak bermain drama.
Dia menokohkan diri sebagai rakyat kecil yang butuh pantai untuk berlibur, atau sebagai tunawisma yang tak tahu lagi ke mana ingin berteduh. Kali lain ia berpuisi yang dipoles ala gado-gado dengan kalimat yang dibumbui peribahasa ala motivator untuk kalangan yang putus asa, agar tak lagi terjadi ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Tapi dari lakon berbau seni yang semestinya menarik, justru amburadul di tangan Anies. Andai dia fokus saja pada apa rencana konkret yang dilakukan, maka takkan banyak waktu terbuang percuma untuk puisi-puisi tidak penting. Di sinilah kegagalannya. Tak hanya itu, dia pun mementaskan penampilan sangat buruk justru saat dia ingin menelanjangi keburukan petahana. Beberapa kali dia mengeluarkan kalimat yang bernada melecehkan kinerja petahana, bahwa itu bukan hal yang patut dibanggakan karena tak ada yang istimewa, katanya.
Maka itu respons bernada cibiran dari netizen pun bermunculan. Sebab Anies sendiri tak punya prestasi yang betul-betul terasakan manfaat yang cukup terang untuk dibanggakan. Jamak diketahui, sepanjang dia jadi menteri yang menangani pendidikan pun, alih-alih melahirkan solusi untuk rakyat yang selama ini kesulitan akses ke pendidikan, dia lebih banyak membangun citra dirinya saja. Tanyakan saja ke masyarakat, ada berapa kebijakan di era dia jadi menteri yang betul-betul terasa manfaatnya, saya yakin pasti mereka gelagapan untuk menunjuknya. Jadi di situlah bumerang Anies. Efek dari keteledoran yang dipamerkan dengan pongah, publik DKI dan media pun menguliti kinerja-kinerjanya sebagai menteri, yang seyogianya menjadi bekalnya jadi gubernur. Tak ada yang membanggakan, dan nyaris tak ada yang baru. Lalu, bagaimana Anies merasa berhak untuk merendahkan kinerja lawan politiknya, terutama petahana, jika dia sendiri melempem dan nyaris nol prestasi sebagai menteri?
Tapi, ya itu memang takkan membuat dirinya dijauhi calon pemilihnya. Terlebih selama ini dia terbilang aman karena dia menganut agama mayoritas, ditopang lagi oleh partai kuat meski jadi pecundang saat Pemilihan Presiden lalu, dan dia sendiri diuntungkan isu diembuskan ormas-ormas yang menggemari arak-arakan ala pengantin yang lengkap dengan Topeng Monyet. Apalagi, Anies pun selama isu penistaan agama berkembang luas, terasa sangat jelas sikapnya. Dia tidak berusaha membantu publik melihat persoalan dengan jernih, setidaknya untuk kalangan pengikutnya agar tak ikut-ikutan, tapi justru diam dan merasa itu sebagai petaka bagi petahana yang kelak akan menguntungkannya. Di situlah keculasan seorang Anies kian menonjol. Branding dirinya sebagai pendidik tak lebih dari branding itu sendiri, hanya ada dalam teori, miskin dalam praktik. Pengetahuannya yang luas hanya berada di wilayah semu, wacana, namun miskin eksekusi. Wacana dimilikinya tidak terlihat hidup selayaknya wacana yang betul-betul terealisasi dan dapat ditunjuk oleh masyarakat awam sekali pun.
Sederhana, lakukan saja survei, apa yang sudah dilakukan Anies sepanjang jadi menteri dan paling membuat rakyat terkenang? Mereka mungkin hanya bisa mengingat apa yang sudah dikatakannya, bukan yang sudah dilakukannya. Fenomena lain yang juga terpampang dari debat kemarin yang terbilang paling konyol diperlihatkan seorang bekas menteri adalah adegannya dengan Sylviana Murni. Bagaimana bisa, di saat dia harus mendengar untuk memberikan jawaban, Anies justru asyik sendiri, dan setelah waktu habis justru melakukan cara curang, merampok waktu yang tak lagi dijatahkan. Itu mencerminkan perilaku sangat buruk dari calon pemimpin. Satu pertanyaan yang disampaikan di depannya, dengan pengeras suara, dan di panggung yang terbilang tenang, ia gagal mendengar. Bagaimana dia bisa berani menjanjikan akan mendengar aspirasi rakyat DKI, terutama masyarakat miskin yang boro-boro bisa bicara selugas Sylvi, justru lebih banyak cuma bisa bicara terbata-bata.
Jelas, rakyat kecil itu tak punya kelihaian mengatur kata-kata, atau menunjuk-nunjuk data sebrilian pesaing Anies saat Pilgub. Mereka kelak akan bicara dengan bahasa rakyat, bahasa yang tidak seteratur rival politiknya. Apakah Anies kelak mampu mendengar mereka, rakyat yang lebih banyak tertutup keberadaannya oleh gedung-gedung tinggi dan tembok-tembok yang memagari kota ini? Saya sangsi. Kesangsian ini saya yakini bukan saya sendiri saja yang mengalami, tapi mungkin jutaan rakyat di kota ini. Jadi, Pak Anies, entah kelak Anda menang atau tidak dalam pertarungan demokrasi itu, saya pribadi menyarankan dua hal penting untuk Anda asah; belajar menghargai pekerjaan orang lain, dan biasakan untuk berlatih mendengar. Tanpa itu, bukan Anda yang terlihat tidak menghargai orang, melainkan Anda kian terlihat tidak berharga.* (Artikel ini juga tayang di situs pribadi: www.tularin.com)
Tapi dari semua cacat yang dipertontonkan, cacat Anies terbilang paling fatal. Kenapa, karena dia terkesan terlalu banyak polesan yang terlalu dibuat-buat sehingga penonton terasa dibawa ke dalam ruang teater hanya untuk menyaksikan pertunjukan yang tidak jelas; deklamasi puisi atau drama? Ya, saat ingin melihatnya sebagai deklamasi puisi, tapi dia juga terlalu banyak bermain drama.
Dia menokohkan diri sebagai rakyat kecil yang butuh pantai untuk berlibur, atau sebagai tunawisma yang tak tahu lagi ke mana ingin berteduh. Kali lain ia berpuisi yang dipoles ala gado-gado dengan kalimat yang dibumbui peribahasa ala motivator untuk kalangan yang putus asa, agar tak lagi terjadi ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Tapi dari lakon berbau seni yang semestinya menarik, justru amburadul di tangan Anies. Andai dia fokus saja pada apa rencana konkret yang dilakukan, maka takkan banyak waktu terbuang percuma untuk puisi-puisi tidak penting. Di sinilah kegagalannya. Tak hanya itu, dia pun mementaskan penampilan sangat buruk justru saat dia ingin menelanjangi keburukan petahana. Beberapa kali dia mengeluarkan kalimat yang bernada melecehkan kinerja petahana, bahwa itu bukan hal yang patut dibanggakan karena tak ada yang istimewa, katanya.
Maka itu respons bernada cibiran dari netizen pun bermunculan. Sebab Anies sendiri tak punya prestasi yang betul-betul terasakan manfaat yang cukup terang untuk dibanggakan. Jamak diketahui, sepanjang dia jadi menteri yang menangani pendidikan pun, alih-alih melahirkan solusi untuk rakyat yang selama ini kesulitan akses ke pendidikan, dia lebih banyak membangun citra dirinya saja. Tanyakan saja ke masyarakat, ada berapa kebijakan di era dia jadi menteri yang betul-betul terasa manfaatnya, saya yakin pasti mereka gelagapan untuk menunjuknya. Jadi di situlah bumerang Anies. Efek dari keteledoran yang dipamerkan dengan pongah, publik DKI dan media pun menguliti kinerja-kinerjanya sebagai menteri, yang seyogianya menjadi bekalnya jadi gubernur. Tak ada yang membanggakan, dan nyaris tak ada yang baru. Lalu, bagaimana Anies merasa berhak untuk merendahkan kinerja lawan politiknya, terutama petahana, jika dia sendiri melempem dan nyaris nol prestasi sebagai menteri?
Tapi, ya itu memang takkan membuat dirinya dijauhi calon pemilihnya. Terlebih selama ini dia terbilang aman karena dia menganut agama mayoritas, ditopang lagi oleh partai kuat meski jadi pecundang saat Pemilihan Presiden lalu, dan dia sendiri diuntungkan isu diembuskan ormas-ormas yang menggemari arak-arakan ala pengantin yang lengkap dengan Topeng Monyet. Apalagi, Anies pun selama isu penistaan agama berkembang luas, terasa sangat jelas sikapnya. Dia tidak berusaha membantu publik melihat persoalan dengan jernih, setidaknya untuk kalangan pengikutnya agar tak ikut-ikutan, tapi justru diam dan merasa itu sebagai petaka bagi petahana yang kelak akan menguntungkannya. Di situlah keculasan seorang Anies kian menonjol. Branding dirinya sebagai pendidik tak lebih dari branding itu sendiri, hanya ada dalam teori, miskin dalam praktik. Pengetahuannya yang luas hanya berada di wilayah semu, wacana, namun miskin eksekusi. Wacana dimilikinya tidak terlihat hidup selayaknya wacana yang betul-betul terealisasi dan dapat ditunjuk oleh masyarakat awam sekali pun.
Sederhana, lakukan saja survei, apa yang sudah dilakukan Anies sepanjang jadi menteri dan paling membuat rakyat terkenang? Mereka mungkin hanya bisa mengingat apa yang sudah dikatakannya, bukan yang sudah dilakukannya. Fenomena lain yang juga terpampang dari debat kemarin yang terbilang paling konyol diperlihatkan seorang bekas menteri adalah adegannya dengan Sylviana Murni. Bagaimana bisa, di saat dia harus mendengar untuk memberikan jawaban, Anies justru asyik sendiri, dan setelah waktu habis justru melakukan cara curang, merampok waktu yang tak lagi dijatahkan. Itu mencerminkan perilaku sangat buruk dari calon pemimpin. Satu pertanyaan yang disampaikan di depannya, dengan pengeras suara, dan di panggung yang terbilang tenang, ia gagal mendengar. Bagaimana dia bisa berani menjanjikan akan mendengar aspirasi rakyat DKI, terutama masyarakat miskin yang boro-boro bisa bicara selugas Sylvi, justru lebih banyak cuma bisa bicara terbata-bata.
Jelas, rakyat kecil itu tak punya kelihaian mengatur kata-kata, atau menunjuk-nunjuk data sebrilian pesaing Anies saat Pilgub. Mereka kelak akan bicara dengan bahasa rakyat, bahasa yang tidak seteratur rival politiknya. Apakah Anies kelak mampu mendengar mereka, rakyat yang lebih banyak tertutup keberadaannya oleh gedung-gedung tinggi dan tembok-tembok yang memagari kota ini? Saya sangsi. Kesangsian ini saya yakini bukan saya sendiri saja yang mengalami, tapi mungkin jutaan rakyat di kota ini. Jadi, Pak Anies, entah kelak Anda menang atau tidak dalam pertarungan demokrasi itu, saya pribadi menyarankan dua hal penting untuk Anda asah; belajar menghargai pekerjaan orang lain, dan biasakan untuk berlatih mendengar. Tanpa itu, bukan Anda yang terlihat tidak menghargai orang, melainkan Anda kian terlihat tidak berharga.* (Artikel ini juga tayang di situs pribadi: www.tularin.com)
ConversionConversion EmoticonEmoticon