Namaku Dewi. Dulu, ibu memberi nama itu agar aku tumbuh cantik, kuat dan anggun seperti para dewi di berbagai cerita legenda. Aku menyukai nama itu. Seperti keinginan ibu, aku tumbuh menjadi perempuan yang kuat, cerdas dan cantik. Setidaknya begitulah pujian yang sering aku dengar.
Setelah selesai kuliah, aku memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Ibu kota lebih menawarkan jenjang karir dan penghasilan yang lebih baik. Dengan nilai akademis yang baik dan kemauan untuk belajar, tidak sulit mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Aku diterima bekerja di salah satu kantor yang berhubungan dengan saham.
Kita semua tahu bahwa bekerja di sektor saham membutuhkan waktu yang sangat banyak. Saya memang mendapat gaji besar, namun banyak juga yang harus saya korbankan, termasuk waktu ngobrol bersama ibu via telepon. Di awal bekerja dulu, setidaknya saya menelepon ibu seminggu sekali. Setelah itu saya semakin sibuk, setiap hari cepat berlalu, saya tidak pernah menghubungi ibu.
Sengaja Tidak Mengangkat Telepon Ibu..
Jika sudah begini, ibu yang pada akhirnya menelepon saya. Karena badan dan kepala saya seringkali capek dan butuh istirahat, telepon-telepon itu lebih sering saya abaikan ketimbang saya angkat. Saya lebih memilih tetap tidur dalam selimut yang hangat ketimbang mengangkat telepon dari ibu. Saya bahkan sengaja mematikan tombol panggilan saat ibu menelepon di jam santai.
Waktu itu saya berpikir, paling-paling ibu hanya akan menanyakan saya sudah makan atau belum. Saya ini sudah besar, tidak perlu diingatkan makan, saya sudah bisa makan sendiri. Mungkin karena sudah punya penghasilan sendiri yang cukup besar, saya angkuh ketika itu. Selama uang yang saya kirim ke ibu tetap lancar, saya merasa tidak berkewajiban ngobrol dengannya.
Isi Kepala Saya Hanya Kerja, Kerja, Kerja, Hingga Akhirnya..
Berbulan-bulan saya lalui dengan kegiatan seperti ini. Saya tidak tahu bagaimana kabar ibu, ibu pun tidak punya akses untuk tahu bagaimana kabar saya. Hingga tepat setahun yang lalu, saat Jakarta dilanda banjir, kondisi tubuh saya drop. Saya demam berhari-hari dan dinyatakan positif demam berdarah.
Karena tinggal sendiri di Jakarta, saya memutuskan lebih baik dirawat di rumah sakit. Saat itu, yang saya inginkan hanya ibu. Mungkin inilah titik balik saat saya sadar betapa tidak terpujinya sikap saya pada ibu. Saat saya sehat, sama sekali tidak ingat ibu. Ketika terkapar di rumah sakit, kehadiran ibu sangat saya inginkan.
Dengan sedikit malu, saya menelepon ibu dan mengabarkan bahwa saya dirawat di rumah sakit. Saya bisa mendengar suara ibu sangat panik di balik telepon. Ibu mengatakan akan ke Jakarta secepatnya. Namun aku tetap keras kepala agar ibu tidak perlu menyusulku. Walau merindukan ibu, aku bisa merawat diriku sendiri.
Penyesalan Terbesarku..
Tapi seorang ibu tetaplah ibu. Dua hari kemudian ibu sudah ada di samping ranjang tempat tidurku, datang bersama adikku yang terpaksa bolos kuliah demi menjengukku. Saat itu aku melihat ibu tidak berjalan seperti biasanya. Kakinya sedikit pincang.
"Ibu jatuh dari tangga dua minggu yang lalu," ujar adikku dengan sedikit ketus. "Mbak sih, ditelepon bolak-balik nggak pernah diangkat. Kemarin orang serumah ngelarang ibu ke Jakarta, tapi katanya ibu khawatir kakak kenapa-kenapa, padahal kaki ibu masih bengkak,"
"Nggak apa-apa kok, kaki ibu sudah nggak sesakit kemarin," ujar ibuku. Aku bisa melihat senyum hangat di bibirnya, senyum yang sudah lama tidak aku lihat.
Entah kenapa, ada rasa menyesal luar biasa dalam diriku. Dadaku terasa sakit karena mengetahui kalau sebenarnya kondisi ibu tidak baik, dan aku selama ini tidak peduli padanya. Aku tidak peduli dengan infus yang masih menempel di pergelangan tanganku, aku langsung memeluk ibu dan menangis di pelukannya.
"Lho kok kamu nangis?" tanya ibuku dengan suara bingung.
Ini adalah puncak penyesalanku, penyesalan yang aku tahu sudah melukai hati ibu. Aku menyesal sudah mengabaikan ibu berbulan-bulan, aku menyesal tidak pernah menanyakan kabarnya, bahkan dalam kondisi tidak baik seperti ini, ibu rela jauh-jauh ke Jakarta naik kereta api. Dan lihatlah aku, anak perempuan kesayangannya yang tidak tahu terima kasih.
Aku menangis sampai baju rumah sakit yang aku pakai basah di bagian dada. Berkali-kali aku meminta maaf. Namun tahukah kalian dengan jawaban ibuku?
"Kamu nggak salah apa-apa,"
Aku semakin merasa sangat berdosa. Tuhan sudah terlalu baik menitipkanku pada ibu yang hebat, namun aku menyia-nyiakannya. Jika sakitku adalah sentilan Tuhan, aku berterima kasih kepada-Nya. Setidaknya aku tahu kesalahanku dan bisa memperbaikinya, belum ada kata terlambat.
Setelah aku keluar dari rumah sakit dan kembali bekerja. Aku selalu menyempatkan diri menelepon ibu, setidaknya lima menit setiap hari. Hanya lima menit setiap 24 jam, ternyata tidak seberat dugaanku.
Sekarang aku lebih lega, lebih sehat, dan aku justru senang jika ibu mulai cerewet memintaku makan teratur. Bukankah itu tanda sayang seorang ibu? Aku tahu kesuksesan ini adalah buah manis dari doa-doa ibu. Apalah saya jika tidak memiliki seorang ibu yang hebat.
Semoga kisah saya ini bisa menjadi inspirasi para pembaca. Jika Anda memang sibuk bekerja dan meniti karir, ingatlah dengan ibu Anda. Jangan berpikir semua kesuksesan ini hanya hasil usaha Anda, karena dalam setiap langkah Anda, pasti ada doa ibu yang menuntun Anda.
Salam sayang untuk semua ibu hebat di Indonesia.
ConversionConversion EmoticonEmoticon